Jumat, 15 Februari 2013

Stone Stepper_3 ♫Gon♫

Hari ini hari libur bagi Advie, walaupun bukan hari Minggu, tapi tidak ada mata kuliah hari ini.

Sekitar jam lima pagi, seperti biasa, Advie keluar dari rumahnya, melangkahkan kaki mencari langit matahari terbit. Berkalung syal hijau kebiruan dengan topi kupluk abu-abu, melangkah dengan sepatu bot kulit coklatnya. Di saku jaketnya terselip kedua tangan yang sedikit gemetar kedinginan, dan di sampingnya berjalan seekor anak anjing, Tappy.

     "Hari ini masih dingin ya, Tappy."
     "Guk!"
     "Enaknya kemana ya?"
     "Guk! Guk! Guk! Guk!"
Tiba-tiba Tappy menyalak dengan bersemangat. Advie yang heran kemudian menoleh ke arah yang dituju Tappy, dan di depannya terpampang sebuah pemandangan matahari terbit. Hari ini agak sedikit berawan, tapi tetap pemandangan yang tidak sama dengan hari-hari sebelumnya. Awan di langit tidak pernah sama. Seperti sidik jari setiap manusia yang sudah diciptakan, tidak seorangpun pernah mempunyai sidik jari yang sama, begitupun dengan langit, setiap harinya tidak akan pernah sama.

     "Guk! Guk! Guk!"
Tappy terus menyalak, seolah menunjukkan sesuatu yang lain.
     "Hey, tenanglah, kamu mau apa?"
Sesaat Advie terpaku pada kebingungannya, 'apa yang dicari anak anjing ini?', pikirnya. Namun kemudian dia mengerti. Hidungnya mencium sebuah aroma kopi dan kue yang sedang disiapkan, entahkah roti yang sedang dipanggang, atau kopi yang sedang diseduh atau digiling. Tapi aroma yang dapat dimengerti oleh seekor anak anjing yang lapar di pagi hari.

     "Okee, okee, ayo kita cari makan."
     "GUK!"
Sesegera mungkin Tappy menjawab dan mengikuti langkah kaki tuannya.

♪~♪

KLING KLING!
Sebuah sensor di pintu masuk berbunyi begitu Advie memasuki salah satu convenience store 24 jam terdekat dari tempatnya melihat matahari terbit tadi. Advie mencari yang paling dekat, dia tahu, Tappy seekor anak anjing kecil dan dia akan jauh lebih berisik bila lebih jauh lagi berjalan. Dan lagi, dia sendiri bersemangat untuk mencari makanan untuk Tappy, bisa mengusir sedikit rasa penasarannya akan kehidupan seekor anak anjing.

Semenit kemudian Advie telah duduk di meja luar convenience store tersebut bersama Tappy di pangkuannya. Dia membeli seplastik roti dan air mineral serta segelas coklat hangat pagi itu. Tappy melahap cepat roti yang diberikan Advie padanya, sementara mata Advie tiba-tiba tertuju pada satu arah. Kakinya yang daritadi bergoyang-goyang santai tiba-tiba terdiam, menyilang dan kaku, namun matanya memperhatikan.

Di depannya tampak seorang wanita dengan jas coklat tua panjang, seolah menjadi mantelnya, dan beberapa kali kepalanya menoleh ke arah tangannya, matanya terus memperhatikan jam di tangannya, seperti menunggu sesuatu atau seseorang. Dilihat dari cara ia berpakaian, bukan orang dengan perekonomian pas-pas an, tapi seorang berada yang bahkan mungkin bisa dibilang, berkelimpahan. di depa wanita itu terlihat beberapa buah roti yang sudah dimakan, tapi hanya satu atau dua gigitan, kemudian diletakkan begitu saja tanpa pernah dilihat lagi oleh pembelinya. Mungkinkah rasanya tidak enak, atau sudah kadaluarsa, pikir Advie.
     Beberapa menit berlalu, dan wanita tersebut masih gelisah di tempat duduknya, sama sekali tidak menyadari keberadaan Advie, sementara Advie masih memperhatikannya sembari sesekali mereguk coklat hangatnya dan pura-pura melihat ke arah lain agar tidak mencolok bagi wanita tersebut. Kacamata hitam yang dipakai wanita di depan Advie membuatnya tidak dapat mengenali seperti apa rupa seluruhnya wanita itu. Di dalam jas panjangnya ia mengenakan satu setelan baju kerja, sebuah blazer terkancing rapi dan sebuah rok pendek di atas lutut. Sepatu berhak tinggi berwarna hitam mengkilap menghiasi kaki wanita yang menumpukan kaki satu ke kaki yang lainnya tersebut. Pagi ini masih sepi, di area meja luar tersebut hanya ada satu orang laki-laki seperti mahasiswa yang sedang belajar, Advie dan Tappy, serta wanita berjubah panjang tadi. Dalam keadaan seperti itu, satu orang dan yang lainnya bisa dengan mudah melihat dan menyadari sekelilingnya, tetapi wanita ini tidak sedikitpun menaruh minatnya pada hal di sekelilingnya. Sedari tadi matanya hanya tertuju pada jam tangan dan ponselnya.
     Akhirnya setengah jam berlalu, dan datanglah sebuah mobil CR-V putih bersih dan terlihat terawat oleh pemiliknya, atau mungkin pembantu pemiliknya, berhenti dengan sigap di dekat wanita tadi, dan keluarlah seorang pria dengan seragam seorang sopir, dan berkali-kali membungkuk meminta maaf pada wanita berjubah panjang tadi. Wanita yang telah lama menunggu tersebut pergi dengan penuh omelan dan kekesalan terlihat dari caranya berjalan, memasuki mobil putih dengan pintu yang telah dibukakan tersebut. Wajah dan kacamata hitamnya menghilang di balik pintu mobil yang kemudian ditutup oleh sang sopir. Lalu kilap yang memantulkan sedikit warna langit pagi itupun berlalu seiring perginya wanita berjubah panjang dalam mobilnya dan sang sopir.
     Udara kembali terasa dingin di tangan Advie. Keberadaan Tappy pun kembali disadari, masih ada di pangkuan Advie, tapi kini kedua kaki depannya beralih ke atas meja, mencoba mencari roti sisa yang masih bisa dimakannya. Advie menyadari Tappy dengan perutnya yang masih lapar, dan kakinya hendak berjalan memasuki kembali toko tersebut untuk membeli lebih banyak roti, namun sedetik kemudian kepalanya menoleh pada meja wanita tadi. Ada sekitar empat sampai lima roti tersisa disana. Hampir semuanya terdapat bekas gigitan, kecuali satu yang benar-benar tidak disentuh, masih rapi tertutup di dalam kantong plastik putih toko tersebut. Uangnya terbatas, dan mungkin bisa lebih berhemat dengan itu.

     "Tappy, yang itu aja ya? Harus hemat nih,hehe.."
     "Guk."
Sesaat kemudian tangannya meraih kantong plastik putih berisi roti yang ternyata belum kadaluarsa, dan sepengetahuan Advie, roti itulah yang paling mahal di toko tersebut. Hari masih pagi, dan belum banyak orang berlalu lalang ataupun duduk-duduk di toko tersebut. Sedikit keraguan Advie untuk mengambil roti tersebut pun tidak lagi dihiraukannya. Dan pagi ini, Tappy mendapatkan sarapan yang lebih dari cukup untuknya.
     Dalam hatinya, Advie sedikit berpikir. Orang yang punya terlalu banyak kadang-kadang memang tidak tahu bagaimana menggunakannya, apa yang dia punya, dengan baik. Dan tidak sedikit orang seperti itu di dunia ini, setidaknya yang pernah dijumpai Advie sampai hari ini. Di kotanya.

♪~♪

Udara mulai panas, matahari mulai tinggi dan langit cerah tak berawan. Advie tidak suka hari yang panas, maka berteduhlah ia di bawah kanopi sebuah kafe. Ini kedua kalinya dia kesini, dengan tujuan yang sama, berteduh, dan di tempat inilah dia merasa nyaman untuk berteduh. Selain karna kanopinya yang lebar, juga desain tempatnya menarik, dengan gaya Victoria, lampu gantung berwarna kuning yang menerangi ruangan. Dinding-dindingnya yang dicat putih pun sedikit menguning terkena cahaya lampu. Di beberapa tempat terdapat pajangan botol-botol bir yang telah kosong dengan berbagai warna. Gaya klasik, pikir Advie, tapi sangat menarik baginya. Seperti seluruh benda di tempat itu memiliki ceritanya sendiri. Mata Advie terus menjelajah kafe tersebut, beberapa kali menoleh ke dalamnya, sampai akhirnya menyadari bahwa Tappy tidak ada di sampingnya. Kakinya tiba-tiba merasakan udara kosong di sebelahnya. Tappy menghilang.

♪~♪

Kaki-kaki Advie berlarian di sepanjang jalan sejajaran kafe tadi, matanya panik mencari anak anjing kesayangannya. Dia tidak mau kehilangan temannya, hari-harinya cukup sepi untuk dilewati walaupun hanya sekedar tanpa seekor anak anjing, dan lagi, itu teman pertamanya, yang dekat. Rasanya ironis menyadari bahwa yang hilang adalah dirinya, bukan Tappy. Advie yang sebenarnya membutuhkan teman, dan rasanya ingin menangis. Air mata hampir menetes dari pelupuknya tapi akhirnya diusap oleh tangan Advie. Kakinya terus berlari, matanya terus mencari. Beberapa orang sempat ditanyanya selama ia berjalan dan berlari mencari Tappy, masih berharap menemukannya di dekat-dekat sini.
     Beberapa belas menit berlalu, di tengah keramaian yang mulai padat ini, Advie hampir putus asa mencari seekor anak anjing yang belum terlalu dikenalnya. Matanya berakhir di keramik merah muda yang diinjaknya. Badannya membungkuk, lelah berlari dan mencari. Pikirannya putus asa dan matanya hanya ingin menangis, sampai akhirnya tertuju pada satu titik di sebrang jalan. Matanya menangkap gerakan ekor seekor anak anjing coklat dengan pola putih di wajahnya, Tappy.

     "Tappy!" teriaknya tanpa menghiraukan tatapan heran orang-orang.
Kakinya dengan cepat berlari menyebrang jalan, tangannya dengan sigap menghalangi mobil-mobil yang lewat, dan hatinya kembali menghangat, menemukan yang hilang.
   Tangannya meraih Tappy ke pelukannya dan dengan erat memeluknya, merasakan kehangatan seekor anak anjing yang sejenak membuatnya putus asa. Tidak sepi lagi, pikirnya.
     "Maaf ya, jangan pergi lagi ya, Tappy" ucapnya lirih.
     "Guk."
Ekornya masih bergoyang di pelukan Advie, dan tangan Advie dengan segera menyadari sesuatu dan berlari ke pikiran Advie. Pikirannya menyuruhnya melihat sesuatu yang membuat Tappy tertarik, dan matanya menangkap pemandangan yang seolah mengiris hatinya. Seorang ibu tua yang duduk bersandar ke gedung tuadi belakangnya. Gedung putih dengan cat yang sudah mengelupas di beberapa tempat, seolah mengerti umur orang yang bersandar padanya.
     "Ibu, maafin anjing saya ya."ujar Advie seraya tersenyum sedikit sedih.
     "Oh, gapapa neng."jawab ibu tua itu dengan senyum.
Advie merogoh kantongnya dan menemukan beberapa koin logam di dalamnya, diberikannya kepada ibu tua itu dan sebuah coklat yang sempat dibelinya di toko tadi pagi. Sang ibu tua mengucapkan banyak terima kasih dan Advie membalasnya pula dengan senyuman. Tidak lama kemudian, Advie melanjutkan langkahnya.

♪~♪

Hingga langit gelap, Advie terus menjelajahi kotanya, melihat berbagai macam orang, berbagai peristiwa, dan menyadari begitu banyak hal yang beberapa di antaranya cukup ironis buatnya. Langkahnya berakhir di depan pintu rumahnya. Jam dinding menunjukkan pukul delapan saat Advie menutup pintu. Badannya terhempas di sofa ruang tengahnya, Tappy di sebelahnya menggeliat manja, sedikit kelelahan.

     "Tappy. Nama kamu kayanya kurang cocok sama sifat kamu."
     "Guk." Tappy yang dengan spontan mendengar namanya disebut.
     "Kita ganti nama kamu aja gimana?"
Sekilas mata Advie menangkap setumpuk DVD yang kemarin sempat ditontonnya beberapa. Di paling atas terletak sebuah film animasi Jepang yang bercerita tentang petualangan dua orang anak menghadapi dunia di sekitar mereka. Dari situlah, nama baru Tappy berasal, dari karakter seorang anak yang penuh semangat, tidak mudah menyerah dan selalu mencari hal-hal baru di sekitarnya. Pada akhirnya, ia membuat orang-orang di sekitarnya menyadari banyak hal yang sebelumnya tidak mereka sadari.
     "Nama kamu aku ganti ya. Jadi Gon."ujar Advie seraya tertawa kecil.
     "Guk!"sang anak anjing hanya menjawabnya pelan, kemudian terlelap di sisi Advie.
Begitupun Advie, matanya perlahan menutup setelah tangannya mengusap kepala anak anjing di sampingnya, Gon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...