Ini kisah kedua sang pengelana.
Advie berumur 18 tahun. Hari-harinya sebagai seorang mahasiswi tidak terlalu menyenangkan menurutnya, bahkan kadang sangat membosankan. Hari-hari yang dilalui dengan rutinitas yang sama. Bangun pagi, sarapan, berangkat kuliah, pulang kuliah, membuat tugas, tidur, lalu kembali bangun pagi, sarapan dan seterusnya. Tidak ada yang istimewa. Tapi bukan Advie namanya kalau dia tidak bisa menghilangkan kebosanan itu. Dunia hitam putih yang membosankan bisa dia pelajari untuk menciptakan warnanya sendiri, seperti itulah karakternya. Seseorang yang mungkin terlihat tidak perduli apapun, tapi sebenarnya dia melihat dan menyadari banyak hal, bahkan membuat perubahan di dalamnya.
Satu kebiasaan Advie adalah bangun sebelum matahari menampakkan batang hidungnya. Sebuah kebiasaan yang mengasyikkan, setidaknya bagi dia. Pagi ini pun dia membuka mata ketika langit masih redup seperti malam, beberapa bintang masih terlihat namun warna langit yang biru mulai mengradasi sang langit malam. Advie turun dari ranjangnya, berjingkat menyeimbangkan tubuhnya yang masih terkantuk-kantuk, mencoba mencari pegangan dan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar mandinya, matanya mencoba menyadarkan dirinya yang seolah masih mengumpulkan nyawa.
"Hmmh...." gumamnya enggan bergerak.
"Nguuk..." tiba-tiba Tappy muncul sambil menggosokkan kepalanya ke kaki Advie tanda manja.
"Hmm?? Tappy? Pagii-i-i.." ucap Advie lirih, masih dengan rasa kantuknya.
Akhirnya Advie bersiap-siap pergi ke kampusnya. Memasukkan semua buku dan alat tulis yang biasa dibawanya, sebuah buku sketsa kecil, satu set cat air padat yang --menurutnya-- lebih mudah digunakan dan dibawa-bawa tentu saja, serta sebuah kamera saku yang menunjukkan kepada siapapun yang melihatnya bahwa pemiliknya tidak terlalu merawatnya karena beberapa lapisannya sudah terkelupas. Advie terbiasa memasak sarapannya sendiri, dan memang, dia tidak tinggal dengan siapapun. Sepiring kentang dan omelet yang menjadi sarapannya sehari-hari kini dibuatnya dengan porsi dobel, satu untuknya, satu untuk Tappy. Rasanya lumayan, telur dengan tomat dan tofu yang dicampur, dimasak dalam wajan anti-lengket dengan ukuran sedang. Warisan dari ibunya dulu.
"Tappy! Ayo pergi, nanti keburu mataharinya tinggi, gak asik lagi!" ujarnya sambil mengambil ransel berwarna merahnya dengan cepat dan langsung menuju pintu.
"GUK!" jawab Tappy yang kurang lebih kalau diterjemahkan 'oke'.
♪~♪
Udara pagi ini sangat sejuk, walaupun dingin dan jalanan masih agak berkabut. Advie dan Tappy menyusuri jalan kecil dengan tembok-tembok bata bercat putih. Langkahnya menyapu udara lembap di depannya, jemarinya merasakan kerasnya setiap bongkah bata yang tersusun rapi sementara mata dan kepalanya mengarah pada langit subuh yang mulai terang dan menguning. Sementara berjalan, Tappy sesekali menggonggong pada matahari yang mulai terbit, seolah juga mengagumi sebuah pemandangan menakjubkan di depannya yang timbul perlahan. Mentari pagi ini membagikan kehangatannya di tengah langit biru tak berawan, dan di bawahnya terbentang kota-kota dengan setiap manusia yang hidup dan terus berputar menciptakan goresan-goresan tinta cerita di buku kehidupan mereka.
♪~♪
Selesai kuliah, Advie kembali menyusuri jalan pulang dengan cara yang sama. Berjalan perlahan sambil jemarinya seolah menyelidiki setiap lekukan batu-bata yang tersusun rapi dan dicat putih. Tappy yang sejak kelas tadi ditaruhnya di dalam tas, sudah dikeluarkannya sejak dirinya keluar dari gerbang kampus. Memang belum lama Tappy dan Advie berteman, tapi seperti ada sesuatu yang membuat mereka bisa saling mengerti. Jika Advie menyuruhnya diam, maka Tappy pun diam, tanpa suara. Dan begitulah caranya menyembunyikan Tappy selama kelas berlangsung tanpa perlu menarik perhatian banyak orang. Hanya beberapa orang saja yang sadar akan kehadiran Tappy tapi mereka lebih memilih untuk tidak mencampuri kehidupan di luar hidup mereka masing-masing.
Langkah Advie tiba-tiba terhenti di sebuah taman kecil yang baru disadarinya hari ini. Tidak begitu luas, tapi di dalamnya terlihat sebuah kursi taman yang cukup panjang untuk diduduki olehnya dan Tappy. Pemandangan langit sore hari dan pohon rimbun di tengah taman menjadi latar Advie dan Tappy saat itu. Angin sepoi-sepoi berhembus menerpa kulit di wajah Advie. Rasanya agak dingin dan seperti menciptakan suasana tenang walaupun agak sedikit sepi. Tappy dengan cepat menyatu dengan suasana sore itu dan menyandarkan tubuhnya pada Advie. Tangan Advie dengan lembut mengusap badan Tappy. Bulunya coklat muda dan terdapat spot putih di kepala bagian atas hingga hidungnya. Entah jenis anjing apa, pikir Advie. Lalu matanya kembali pada langit yang mulai memperlihatkan ilusinya dengan warna oranye, kuning dan jingga serta biru yang semakin memudar.
"Terima kasih, Tappy. Sendiri itu terkadang tidak enak."
Tappy tetap memandang langit senja dengan diam, tapi telinganya mendengar apa yang dikatakan teman barunya.
"Aku suka sekali matahari terbenam. Warnanya selalu bagus dan bisa dilihat dari langit di sisi manapun, sekalipun di antara gedung tinggi, kau tetap bisa melihat warnanya. Oranye, kuning, jingga, biru, bahkan ungu, dan semuanya menjadi satu, seperti sebuah lukisan yang tidak bisa dilukis siapapun di dunia ini sampai seindah ini. Tapi sebelumnya selalu ada yang kurang di dalamnya."
"Guk?" ujar Tappy seolah bertanya.
"Hal yang kusadari itu tidak bisa kubagi dengan siapapun. Sayang sekali rasanya kalau hanya menikmatinya sendiri." jelas Advie dengan senyum pudar dan sedikit sedih.
"Tapi...sekarang ada yang bisa kubagi. Walaupun mungkin bukan manusia, tapi setidaknya aku punya teman yang menemaniku memandang matahari terbenam sore ini. Aku senang, dan aku tau, berbagi itu pasti menyenangkan. Terima kasih, sobat."
Advie menutup kalimatnya sambil mendekatkan kepalanya pada Tappy. Rambut hitamnya perlahan menyentuh badan Tappy sambil memantulkan cahaya matahari senja yang hampir menghilang sore itu.
"Terima kasih matahari. Terima kasih senja. Dan terima kasih...sobat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar